Basecamp: Santai Sebelum Tanjakan
Sampai
di basecamp sekitar jam 7 pagi. Udara segar, angin pelan, dan suasana nggak
terlalu ramai. Setelah registrasi dan ngecek logistik (baca: ngitung berapa
bungkus mie dan berapa liter air), kami mulai jalan sekitar jam 08.00.
Awal
jalur masih adem: hutan pinus, tanah padat, dan sedikit turunan bonus sebelum
tanjakan mulai datang. Suasananya cocok buat adaptasi nafas, cek persneling
dengkul, dan nyetel mode hemat tenaga.
Pos
1: Candi Sukuh
Sekitar
40 menit, kami sampai Pos 1. Lahan datar, tanpa bangunan, cukup buat istirahat
ringan sambil minum. Di sini kami masih banyak bercanda. Tas masih ringan
(karena makanan belum habis), nafas masih panjang, dan semangat masih penuh.
Jalur
ke sini cenderung landai, cocok buat ngatur ritme. Tapi kami sadar, ini baru
pemanasan. Di depan pasti bakal makin serius.
Pos
2: Watu Gantung
Menuju
Pos 2, suasana mulai berubah. Akar pohon jadi rintangan, dan tanah licin karena
semalam sempat hujan. Kami mulai sering berhenti, entah buat minum, foto-foto,
atau alasan klasik: "Liat pemandangan dulu, bro."
Sampai
Pos 2, istirahat agak lama. Buka snack, duduk di atas batu besar, sambil
ngeliat ke hutan. Di sini, pembicaraan mulai agak dalam—mulai dari “kayaknya
lutut gue goyang” sampai “lu bawa baju ganti gak sih?”
Pos
3: Watu Gede
Perjalanan
ke Pos 3 lumayan nanjak. Beberapa spot sempit, beberapa bikin napas habis. Tapi
kami tetap jalan bareng—pelan tapi pasti.
Sampai
di Pos 3, kami sepakat untuk buka camp di sini. Lokasinya teduh, cukup
luas, dan sepi. Cocok buat istirahat malam sebelum summit attack subuh nanti.
Kami
pasang dua tenda kecil, masak mie, bikin kopi, dan duduk melingkar sambil
ngobrol ngalor-ngidul. Di hutan sunyi kayak gini, suara api kecil di kompor dan
canda receh teman itu rasanya mahal banget.
Malamnya,
suhu mulai turun. Masuk sleeping bag, dan sempat kebangun karena angin. Tapi
suasana tenang, gak ada suara apa-apa—cuma sesekali daun jatuh dan suara
serangga malam.
Summit
Attack: Jalan Subuh, Sunyi Tapi Solid
Jam
03.00, alarm bunyi. Dengan mata 30% terbuka, kami mulai summit attack. Dingin
nempel banget, tapi semangat nempel lebih kuat.
Headlamp
nyala, tangan beku, dan langkah pelan-pelan melewati Pos 4. Kabut turun tipis,
pohon-pohon tinggi makin terlihat siluetnya. Gak banyak ngobrol—semua fokus
sama langkah dan nafas sendiri. Tapi rasanya nyaman, karena kami bertiga tahu:
ini bukan lomba. Yang penting sampai bareng.
Pos
4: Cokro Suryo
Dari
Pos 3 menuju Pos 4, jalur mulai naik serius. Kabut turun pelan-pelan, pohon makin
rapat dan tinggi-tinggi. Kami jalan pelan, fokus jaga langkah.
Di
sini, suasananya mulai mistis tapi juga tenang. Gak ada suara lain selain
sepatu kena tanah basah, nafas ngos-ngosan, dan sesekali obrolan pendek.
Sampai
Pos 4, kami duduk sebentar. Nyeduh kopi sachet, ngemil biskuit, dan diem bareng
sambil liat kabut jalan pelan. Rasanya kayak lagi nonton slow motion versi
alam.
Pos
5: Watu Lingga dan “Temon”
Menuju
Pos 5, vegetasi mulai terbuka. Pohon mulai jarang, angin makin terasa, dan
tanda-tanda puncak mulai dekat. Langkah masih pelan, tapi semangat udah nambah.
Sampai
di Pos 5, kami duduk lagi buat nyiapin energi terakhir sebelum summit. Di
sinilah muncul kejutan kecil: si Temon.
Seekor
monyet muncul dari balik semak. Jalan pelan, diem-diem ngeliatin kami. Matanya
tajam, tapi ekspresinya... ya, ekspresi khas makhluk yang sering dapat jatah
dari pendaki.
Awalnya
kami cuma senyum. Tapi gak lama, muncul satu lagi, lalu dua. Temon bawa geng.
Kami langsung jagain tas, bungkus makanan, dan cemilan. Tapi tetap lucu
sih—karena mereka nggak agresif, cuma duduk dan nunggu kayak pelanggan
langganan.
Ada
satu yang duduk di batu, ekspresinya kayak ngelihatin kita sambil bilang, “Gue
tahu itu energen, bagi dong.”
Kami kasih sisa kerupuk, langsung direbut dan dibawa lari kayak dapet emas.
Momen
ini bikin Pos 5 jadi lebih hidup. Ketawa sebentar, lalu fokus lagi. Summit
tinggal selangkah.
Puncak
Hargo Dumilah: Sunrise, Pecel, dan Temon
Sekitar
jam 06.00 pagi, sampai di Hargo Dumilah. Angin dingin nyambut kayak
pengering rambut versi alam. Sunrise muncul malu-malu, tapi cukup buat bikin
kita bengong beberapa menit.
Dan
tentu saja: warung Mbok Yem.
Langsung pesan nasi pecel dan teh panas. Duduk di atas batu, piring di tangan,
awan di bawah kaki—gak ada yang bisa ngalahin sensasi ini.
Pas
lagi fokus ngunyah, muncullah dia: si Temon. Seekor monyet lokal,
pelanggan tetap warung Mbok Yem. Datang dengan muka polos tapi niat ngemis
cemilan. Duduk sopan, kadang jalan pelan-pelan mendekat, kadang langsung ngambil
kerupuk kalau gak dijaga.
Kami
semua langsung siaga, jagain piring masing-masing. Tapi tetap senyum, karena
kehadiran si Temon ini bikin suasana makin cair. Bahkan ada pendaki yang
sengaja ngasih sisa nasi, dan dia ambil dengan gaya “udah biasa.”
Monyetnya
jinak, tapi licik. Dan kayaknya dia lebih paham ritme warung daripada kita.
Turun:
Lebih Cepat, Tapi Masih Cerita
Setelah
puas makan dan foto-foto, kami turun lewat jalur yang sama. Jalurnya licin,
kaki mulai kerasa pegal maksimal, tapi obrolan tetap jalan. Kadang ketawa
karena hampir jatuh, kadang saling ngeledek karena udah mulai jinjit saking
ngilu dengkul.
Sampai
Pos 3 lagi, bongkar tenda, beres-beres, lalu lanjut turun. Sampai basecamp
siang hari, lelah tapi senang. Gak ada drama, gak ada nyasar, dan yang paling
penting: semua pulang bareng.
Penutup:
Lawu Bukan Sekadar Gunung
Pendakian
kali ini bukan yang paling berat, tapi salah satu yang paling berkesan. Naik
bertiga, jalur yang tenang, camp yang damai, dan puncak yang disambut monyet
langganan warung—semua komplit.
Gunung
Lawu via Cemara Kandang itu bukan jalur buat cari keramaian. Tapi buat kamu
yang pengen jalan pelan, mikir banyak hal, dan ngerasain sunyi yang
menyenangkan—jalur ini pas banget.
Dan
kalau beruntung, kamu bisa sarapan nasi pecel bareng Temon—penduduk
tetap puncak yang setia ngawasin setiap suapan kita.