Jumat, 04 Juli 2025

Langkah-Langkah Kecil Menuju Puncak Hargo Dumilah

 Basecamp: Santai Sebelum Tanjakan

Sampai di basecamp sekitar jam 7 pagi. Udara segar, angin pelan, dan suasana nggak terlalu ramai. Setelah registrasi dan ngecek logistik (baca: ngitung berapa bungkus mie dan berapa liter air), kami mulai jalan sekitar jam 08.00.

Awal jalur masih adem: hutan pinus, tanah padat, dan sedikit turunan bonus sebelum tanjakan mulai datang. Suasananya cocok buat adaptasi nafas, cek persneling dengkul, dan nyetel mode hemat tenaga.

 

Pos 1: Candi Sukuh

Sekitar 40 menit, kami sampai Pos 1. Lahan datar, tanpa bangunan, cukup buat istirahat ringan sambil minum. Di sini kami masih banyak bercanda. Tas masih ringan (karena makanan belum habis), nafas masih panjang, dan semangat masih penuh.

Jalur ke sini cenderung landai, cocok buat ngatur ritme. Tapi kami sadar, ini baru pemanasan. Di depan pasti bakal makin serius.

 

Pos 2: Watu Gantung

Menuju Pos 2, suasana mulai berubah. Akar pohon jadi rintangan, dan tanah licin karena semalam sempat hujan. Kami mulai sering berhenti, entah buat minum, foto-foto, atau alasan klasik: "Liat pemandangan dulu, bro."

Sampai Pos 2, istirahat agak lama. Buka snack, duduk di atas batu besar, sambil ngeliat ke hutan. Di sini, pembicaraan mulai agak dalam—mulai dari “kayaknya lutut gue goyang” sampai “lu bawa baju ganti gak sih?”

 

Pos 3: Watu Gede

Perjalanan ke Pos 3 lumayan nanjak. Beberapa spot sempit, beberapa bikin napas habis. Tapi kami tetap jalan bareng—pelan tapi pasti.

Sampai di Pos 3, kami sepakat untuk buka camp di sini. Lokasinya teduh, cukup luas, dan sepi. Cocok buat istirahat malam sebelum summit attack subuh nanti.

Kami pasang dua tenda kecil, masak mie, bikin kopi, dan duduk melingkar sambil ngobrol ngalor-ngidul. Di hutan sunyi kayak gini, suara api kecil di kompor dan canda receh teman itu rasanya mahal banget.

Malamnya, suhu mulai turun. Masuk sleeping bag, dan sempat kebangun karena angin. Tapi suasana tenang, gak ada suara apa-apa—cuma sesekali daun jatuh dan suara serangga malam.

 

Summit Attack: Jalan Subuh, Sunyi Tapi Solid

Jam 03.00, alarm bunyi. Dengan mata 30% terbuka, kami mulai summit attack. Dingin nempel banget, tapi semangat nempel lebih kuat.

Headlamp nyala, tangan beku, dan langkah pelan-pelan melewati Pos 4. Kabut turun tipis, pohon-pohon tinggi makin terlihat siluetnya. Gak banyak ngobrol—semua fokus sama langkah dan nafas sendiri. Tapi rasanya nyaman, karena kami bertiga tahu: ini bukan lomba. Yang penting sampai bareng.

 

Pos 4: Cokro Suryo

Dari Pos 3 menuju Pos 4, jalur mulai naik serius. Kabut turun pelan-pelan, pohon makin rapat dan tinggi-tinggi. Kami jalan pelan, fokus jaga langkah.

Di sini, suasananya mulai mistis tapi juga tenang. Gak ada suara lain selain sepatu kena tanah basah, nafas ngos-ngosan, dan sesekali obrolan pendek.

Sampai Pos 4, kami duduk sebentar. Nyeduh kopi sachet, ngemil biskuit, dan diem bareng sambil liat kabut jalan pelan. Rasanya kayak lagi nonton slow motion versi alam.

 

Pos 5: Watu Lingga dan “Temon”

Menuju Pos 5, vegetasi mulai terbuka. Pohon mulai jarang, angin makin terasa, dan tanda-tanda puncak mulai dekat. Langkah masih pelan, tapi semangat udah nambah.

Sampai di Pos 5, kami duduk lagi buat nyiapin energi terakhir sebelum summit. Di sinilah muncul kejutan kecil: si Temon.

Seekor monyet muncul dari balik semak. Jalan pelan, diem-diem ngeliatin kami. Matanya tajam, tapi ekspresinya... ya, ekspresi khas makhluk yang sering dapat jatah dari pendaki.

Awalnya kami cuma senyum. Tapi gak lama, muncul satu lagi, lalu dua. Temon bawa geng.
Kami langsung jagain tas, bungkus makanan, dan cemilan. Tapi tetap lucu sih—karena mereka nggak agresif, cuma duduk dan nunggu kayak pelanggan langganan.

Ada satu yang duduk di batu, ekspresinya kayak ngelihatin kita sambil bilang, “Gue tahu itu energen, bagi dong.”
Kami kasih sisa kerupuk, langsung direbut dan dibawa lari kayak dapet emas.

Momen ini bikin Pos 5 jadi lebih hidup. Ketawa sebentar, lalu fokus lagi. Summit tinggal selangkah.

 

Puncak Hargo Dumilah: Sunrise, Pecel, dan Temon

Sekitar jam 06.00 pagi, sampai di Hargo Dumilah. Angin dingin nyambut kayak pengering rambut versi alam. Sunrise muncul malu-malu, tapi cukup buat bikin kita bengong beberapa menit.

Dan tentu saja: warung Mbok Yem.
Langsung pesan nasi pecel dan teh panas. Duduk di atas batu, piring di tangan, awan di bawah kaki—gak ada yang bisa ngalahin sensasi ini.

Pas lagi fokus ngunyah, muncullah dia: si Temon. Seekor monyet lokal, pelanggan tetap warung Mbok Yem. Datang dengan muka polos tapi niat ngemis cemilan. Duduk sopan, kadang jalan pelan-pelan mendekat, kadang langsung ngambil kerupuk kalau gak dijaga.

Kami semua langsung siaga, jagain piring masing-masing. Tapi tetap senyum, karena kehadiran si Temon ini bikin suasana makin cair. Bahkan ada pendaki yang sengaja ngasih sisa nasi, dan dia ambil dengan gaya “udah biasa.”

Monyetnya jinak, tapi licik. Dan kayaknya dia lebih paham ritme warung daripada kita.

 

Turun: Lebih Cepat, Tapi Masih Cerita

Setelah puas makan dan foto-foto, kami turun lewat jalur yang sama. Jalurnya licin, kaki mulai kerasa pegal maksimal, tapi obrolan tetap jalan. Kadang ketawa karena hampir jatuh, kadang saling ngeledek karena udah mulai jinjit saking ngilu dengkul.

Sampai Pos 3 lagi, bongkar tenda, beres-beres, lalu lanjut turun. Sampai basecamp siang hari, lelah tapi senang. Gak ada drama, gak ada nyasar, dan yang paling penting: semua pulang bareng.

 

Penutup: Lawu Bukan Sekadar Gunung

Pendakian kali ini bukan yang paling berat, tapi salah satu yang paling berkesan. Naik bertiga, jalur yang tenang, camp yang damai, dan puncak yang disambut monyet langganan warung—semua komplit.

Gunung Lawu via Cemara Kandang itu bukan jalur buat cari keramaian. Tapi buat kamu yang pengen jalan pelan, mikir banyak hal, dan ngerasain sunyi yang menyenangkan—jalur ini pas banget.

Dan kalau beruntung, kamu bisa sarapan nasi pecel bareng Temon—penduduk tetap puncak yang setia ngawasin setiap suapan kita.

 

Minggu, 22 Juni 2025

Menjejaki Ketinggian Merbabu

"Gunung bukan sekadar tempat tinggi. Ia adalah guru, sahabat, dan cermin dari diri kita sendiri." Gunung Merbabu, dengan ketinggian 3.145 mdpl, adalah salah satu gunung paling memesona di Pulau Jawa. Jalur Thekelan menjadi pilihan favorit banyak pendaki karena karakteristiknya yang landai namun panjang, pemandangan yang terbuka, dan panorama Gunung Merapi yang bisa bikin lupa kalau lutut udah nyeri.

Perjalanan kami dimulai dari Basecamp Thekelan yang terletak di Kabupaten Boyolali. Kami sampai sekitar pukul 7 pagi, sengaja datang lebih awal supaya bisa mulai mendaki sebelum matahari terlalu terik. Proses registrasinya cepat dan mudah, suasana basecamp pun bersih dan menyenangkan. Beberapa warga sekitar membuka warung kecil—godaan buat jajan gorengan cukup berat, tapi kami menahan diri... dikit.

POS 1 - SIMPANG LITI: Awal yang cukup Santai, tapi tetap memeras keringat

Trek menuju Pos 1 masih bisa dibilang bersahabat. Tanah padat dan dikelilingi hutan pinus membuat perjalanan terasa adem. Suara serangga seperti latar musik alam yang menemani setiap langkah. Walau tanjakannya belum seberapa, keringat mulai muncul pelan-pelan, semacam kode bahwa ini baru pemanasan.

Di Simpang Liti, kami menemukan percabangan kecil dengan papan penunjuk arah yang cukup jelas. Kami rehat sebentar, minum, dan tentu saja, bercanda sambil pura-pura kuat.

Pos 2 - PERENG PUTIH: Langkah Berat, Tapi Pemandangan Mulai Bikin Hati Ringan

Memasuki jalur ke Pos 2, tanjakan mulai terasa serius. Vegetasi berubah, area jadi lebih terbuka dan angin mulai berhembus lebih kencang. Jalur makin sempit tapi justru pemandangan mulai menyenangkan mata. Sesekali kabut tipis turun perlahan, memberi efek dramatis yang bikin suasana seperti di film petualangan.

Pereng Putih jadi salah satu spot foto yang layak diabadikan. Langit terasa luas, dan semangat kami sedikit-sedikit disuntik ulang oleh keindahan alam. Walau begitu, ritme napas mulai memburu dan suara teman mulai lenyap satu per satu. Fokus utama hanya: lanjut atau duduk dan berpura-pura ikhlas.

 AKASIA KEMBAR: Ujian Ketahanan Dimulai

Dua pohon akasia yang berdiri gagah menandai Pos Akasia Kembar, sekaligus membuka babak baru dalam pendakian. Medan mulai berpasir dan cukup licin. Tanjakan panjang bikin napas harus kerja ekstra, dan ini saatnya kaki diuji seberapa tahan banting.

Kami beristirahat cukup lama di sini. Angin mulai mencolek kulit dengan dinginnya, tapi setidaknya kami bisa menikmati pemandangan Gunung Merapi yang mulai terlihat, meski masih malu-malu. Beberapa dari kami menyeduh kopi sachet sambil mendengarkan cerita absurd teman yang katanya pernah hiking di luar negeri tapi gak ingat nama gunungnya maklum, mungkin cuma mimpi.

Pos 3 - GUMUK MENTHUL: Nama Imut, Tanjakan Serius

Gumuk Menthul punya nama yang lucu, tapi jangan tertipu, jalurnya cukup bikin betis bergetar. Medan yang sempit, rerumputan tinggi, dan tanjakan panjang siap menguras tenaga. Tapi begitu sampai, padang rumput yang luas dan udara segar jadi hadiah yang sangat layak.

Matahari mulai miring ke barat. Kami mengambil waktu untuk ngemil dan recharge. Beberapa rombongan pendaki lain mulai berdatangan. Suasana jadi lebih hidup, dan info soal tempat camp terbaik pun mulai bertukar antar tenda.

 

Pos 4 - LEMPONG SAMPAN: Persinggahan Sebelum Langit

Lempong Sampan adalah spot datar yang luas, cocok banget buat mendiri
kan tenda. Tapi kami masih punya target: ngecamp lebih dekat ke puncak, tepatnya di Puncak Pemancar, agar perjalanan summit nanti lebih singkat.

Di sini, langit mulai berubah warna. Gradasi oranye keemasan perlahan melukis langit, dan Merapi berdiri anggun di kejauhan. Kami sempatkan memotret momen ini—ya, pose-pose klasik ala pendaki pun mulai keluar, lengkap dengan tangan menunjuk cakrawala.


CAMP PUNCAK PEMANCAR: Malam di Antara Bintang

Kami tiba di Puncak Pemancar sekitar pukul 3 sore. Tempatnya cukup luas meski angin bertiup kencang. Tenda berdiri, makanan hangat tersaji, dan langit malam Merbabu langsung mencuri perhatian.

Bintang bersinar terang, begitu banyak hingga langit terasa penuh. Momen ini bikin semua rasa lelah seolah menguap. Dalam kantung tidur, sambil menggigil dan menahan ingin ke toilet, kami mulai membicarakan hal-hal yang lebih dalam—tentang hidup, rencana masa depan, dan nasi goreng basecamp yang entah kenapa sekarang terdengar sangat menggoda.

 

Hari Kedua - Puncak Merbabu: Sunrise dan Siluet Merapi

SUMMIT ATTACK Jam 3 Pagi – Menembus Gelap Menuju Cahaya

Alarm berbunyi pukul 02:30. Dingin menusuk, kantuk berat, tapi semangat menang. Kami memulai summit attack pukul 03:00 dini hari, ditemani cahaya headlamp dan doa agar tidak tersandung.

Jalur ke puncak cukup menantang. Gelap, sempit, dan licin. Tapi setiap langkah terasa seperti mendekat ke langit. Sekitar pukul 05:00 kami tiba di puncak, dan semua rasa lelah langsung sirna.


Gunung Merapi berdiri megah di hadapan kami.

Melihat Gunung Merapi dari puncak Merbabu itu seperti buka jendela ke negeri di atas awan bedanya, yang ini asli, bukan wallpaper HP. Merapi berdiri gagah dengan garis punggung yang tegas, seolah sedang pamer postur terbaiknya ke seluruh penjuru langit. Kadang, ada gumpalan asap kecil keluar dari kawahnya, bikin kita bertanya-tanya, “Itu lagi batuk, atau cuma pemanasan?”

Keindahannya bukan main, sampai pendaki yang tadinya megap-megap di tanjakan mendadak lupa lelah. Bahkan yang biasanya ngeluh tiap lima langkah, tiba-tiba berubah jadi pujangga dadakan, bilang, “Ini bukan sekadar gunung, ini masterpiece dari semesta.” Dan benar saja dari puncak Merbabu, Merapi terlihat seperti lukisan hidup: berani, misterius, dan terlalu memesona untuk diabaikan.

Turun Gunung - Kembali dengan Cerita

Turun melalui jalur yang sama, perjalanan jadi lebih cepat tapi tetap menantang. Lutut mulai goyah, tapi hati penuh. Sesekali kami berhenti untuk menikmati pemandangan yang kemarin terlewat. Sampai di basecamp sekitar siang, kami menatap ke belakang—ke arah Merbabu—dengan rasa puas dan haru.

 Merbabu, Gunung yang Selalu Dirindukan

Gunung Merbabu via jalur Thekelan bukan cuma soal tanjakan dan puncak. Ia adalah tentang perjuangan, kekompakan, ketulusan, dan keajaiban alam. Setiap langkah adalah cerita. Setiap napas adalah pengingat untuk terus bersyukur.

Dan setiap perjalanan seperti ini, selalu membawa kita pulang,bukan hanya ke rumah, tapi ke versi terbaik dari diri sendiri.


Sabtu, 21 Juni 2025

Pendakian Pertama Gunung Prau, Awal Sebuah Perjalanan

  Sejujurnya nggak pernah nyangka bakal naik gunung. Dulu sering mikir, "Ngapain sih capek-capek nanjak cuma buat liat langit?" Tapi semua berubah pas akhirnya gue nekat coba, dan Gunung Prau jadi gerbang pertama gue kenal dunia pendakian. Ternyata... worth it banget.

Start dari Basecamp: Suasana Desa yang Adem Banget

Pagi-pagi banget aku nyampe di basecamp Igirmranak. Desa kecil ini punya suasana yang tenang, kabut masih menggantung rendah, dan udara super adem. Beberapa warung kecil sudah buka, wangi gorengan dan kopi panas langsung nyambut kedatangan kami. Kami sempat ngobrol sebentar sama warga sekitar, mereka ramah banget—seakan tahu kalau kita masih pendaki newbie yang deg-degan.

    Persiapan sebentar, dan jalur langsung disuguhin pemandangan ladang-ladang sayuran warga yang tertata rapi. Banyak spot yang instagramable banget bahkan sebelum masuk pos 1. Tanahnya masih relatif datar, dan suasananya bikin hati tenang.

Pos 1: Lorong Pinus Estetik

    Masuk ke Pos 1, kita kayak langsung diajak masuk ke dalam dunia dongeng. Deretan pohon pinus tinggi berjajar, membentuk semacam lorong alami yang adem banget. Langit masih remang-remang, dan sinar matahari mulai menembus sela-sela daun. Cahaya pagi itu jatuh di jalur setapak dan bikin efek sinematik alami yang bikin semua orang berhenti sejenak buat foto-foto.

    Di pos ini, suara burung dan daun-daun yang tertiup angin jadi backsound alami. Udah nggak ada suara kendaraan atau notifikasi HP. Hanya suara alam dan napas kita sendiri. Rasanya damai banget. Walaupun trek mulai agak menanjak, semangat kami masih tinggi karena semua terasa serba baru dan menyenangkan.

Pos 2: View Sindoro Mulai Muncul!


    Setelah lewat hutan pinus, jalur mulai terbuka sedikit demi sedikit. Langit kelihatan lebih luas, dan dari kejauhan, Gunung Sindoro mulai menunjukkan dirinya. Pemandangannya makin cakep. Kami sering berhenti hanya buat lihat ke belakang dan kagum—“Kita udah sejauh ini ya?”

    Di pos ini, kita juga mulai ngelewatin padang rumput kecil dengan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggir jalur. Anginnya mulai lebih kencang, dan hawanya makin dingin. Tapi semuanya terasa segar. Saking kagumnya, kita sempat duduk agak lama di batu besar sambil makan snack dan menikmati view karena beneran kayak ada di lukisan.

Pos 3: Serasa Jalan di Atas Karpet Hijau


    Ini bagian favoritku. Jalur mulai menanjak lagi tapi lebih terbuka. Langkah kaki semakin pelan karena capek, tapi rasa excited-nya malah makin tinggi. Padang rumput luas terbentang di depan, dengan background langit biru dan awan yang menggantung rendah. Kami benar-benar seperti berjalan di atas karpet hijau yang langsung nyambung ke langit.

    Gunung Sumbing mulai kelihatan jelas. Kami ketemu rombongan pendaki lain yang udah turun, dan mereka bilang sunrise hari itu gila banget cantiknya. Semangat langsung naik lagi. Setiap sudut di pos ini cocok buat duduk, rebahan, atau sekadar nikmatin angin sambil menatap horizon.

Camp Area: Malam Romantis di Bawah Bintang


    Sampai di area camp menjelang sore, dan langit mulai menunjukkan warna-warna magisnya. Kami langsung dirikan tenda di area yang menghadap ke barat. Sunset pelan-pelan muncul di balik Gunung Sumbing. Langit berubah dari oranye ke merah muda lalu ke ungu gelap. Semua orang otomatis hening, menikmati pertunjukan langit tanpa suara.

Malamnya, bintang muncul satu per satu. Udara dingin banget, tapi kami punya sleeping bag dan jaket tebal. Kami rebahan di luar tenda sambil dengerin lagu mellow, minum coklat panas, dan ngebahas kehidupan. Malam itu, bumi dan langit kayak bersatu di satu titik. Magis banget.

Puncak: Sunrise Tercantik Seumur Hidup

Jam 4 pagi, alarm bunyi. Meski dingin, kami bangun dan siap-siap summit. Jalur dari camp ke puncak nggak terlalu jauh, tapi cukup bikin ngos-ngosan. Begitu nyampe atas, angin langsung menyambut. Langit masih gelap, tapi perlahan berubah warna. Dan akhirnya... sunrise-nya muncul.

Cahaya keemasan keluar pelan dari balik cakrawala. Lautan awan membentang luas di bawah kaki kami, dan puncak-puncak gunung lain tampak mengambang di atasnya. Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu semuanya berdiri megah. Semua orang langsung ambil posisi foto, tapi banyak juga yang cuma diem terharu. Aku juga.


Unggulan

Menjejaki Ketinggian Merbabu

"Gunung bukan sekadar tempat tinggi. Ia adalah guru, sahabat, dan cermin dari diri kita sendiri." Gunung Merbabu, dengan ketinggia...

Populer