Kalau hidupmu terasa terlalu datar, mungkin memang waktunya mendaki. Dan inilah cerita gue bersama dua pendaki lainnya, sahabat seperjalanan yang selalu bisa diajak ketawa meski kaki udah protes keras. Kami menantang Gunung Merbabu lewat jalur Thekelan—jalur yang katanya ramah tapi tetap sukses bikin dengkul goyang disko.
Yuk, mulai dari awal!
Basecamp Thekelan – Pemanasan Dimulai
Kami start dari Basecamp Thekelan, Dusun Thekelan, Kopeng. Registrasi, isi logbook, dan sedikit briefing sambil ngemil gorengan. Suasananya adem dan damai, jauh dari kebisingan kota. Pukul 10 pagi kami mulai melangkah, ditemani semangat, tawa, dan beban carrier yang makin lama makin berat—nggak tahu ini isinya perlengkapan atau beban hidup.
Pos 1 – Dok Malang
Jalur menuju Pos 1 Dok Malang masih bersahabat. Tanah datar dengan pohon-pohon rindang, cocok buat pemanasan. Perjalanan sekitar 45 menit, dan kami sempat istirahat sambil ngeledekin satu teman yang napasnya udah kayak mesin diesel.
Pos 2 – Watu Gubug
Masuk ke Pos 2 Watu Gubug, mulai kerasa tanjakannya. Trek mulai menanjak dengan akar pohon di sana-sini. Tapi justru di sini momen-momen kocak muncul—kayak pas salah satu dari kami hampir jatuh karena nginjak batu licin sambil ngunyah permen.
Pos 3 – Lempong Sompel
Vegetasi mulai terbuka, pemandangan makin ciamik. Kami sampai di Pos 3 Lempong Sompel sekitar jam 2 siang, istirahat sambil ngemil dan ngopi instan yang rasanya naik level kalau diseduh di gunung. Dari sini kelihatan Gunung Andong, kecil tapi imut kayak mantan yang nggak bisa dilupakan.
Pos 4 – Watu Tulis & Pos 5 Kentheng Songo
Perjalanan makin berat, tapi pemandangan juga makin mewah. Melewati Watu Tulis dan lanjut ke Kentheng Songo, kami sempat beberapa kali berhenti untuk ngatur napas dan motret. Trek makin terbuka, angin gunung mulai terasa, dan kami tahu… malam ini bakal jadi malam yang luar biasa.
Camp di Puncak Pemancar – Surga Mini di Atas Awan
Sekitar pukul 5 sore, kami sampai di area Puncak Pemancar dan sepakat untuk mendirikan tenda di sini. Tempatnya cukup luas, dan view-nya benar-benar bikin lupa sama semua capek. Angin sepoi-sepoi, sunset yang mewah, dan siluet Gunung Merapi yang berdiri megah—perfect banget.
Setelah tenda berdiri, kami mulai memasak logistik seadanya. Ada yang masak mi instan, ada yang nyeduh kopi, dan satu orang sibuk buka bungkusan rendang kayak nemu harta karun. Saat malam turun perlahan, langit berubah jadi kanvas penuh bintang. Udara dingin menggigit, tapi suasananya hangat banget.
Malam Bercengkerama – Tawa, Curhat, dan Filosofi Mi Instan
Setelah makan malam sederhana nan legendaris (mi instan + sosis + kerupuk yang sengaja dibawa dari warung bawah), kami berkumpul melingkar di depan tenda, ngebentuk lingkaran hangat tanpa api unggun tapi penuh cerita.
Salah satu dari kami buka pembicaraan klasik, “Kalau kamu nggak naik gunung, malam ini kira-kira kamu ngapain?”
Jawabannya macem-macem—ada yang bilang pasti lagi scroll TikTok sampai ketiduran, ada yang bilang kalo di rumah pasti lagi mikirin tugas kuliah yang belum dikerjain, dan satu orang jujur: "Pasti lagi galau liat story mantan."
Tawa meledak. Obrolan ngalor-ngidul terus mengalir, dari kisah pendakian pertama yang gagal karena salah bawa sepatu, sampai cerita lucu tentang pendaki yang nyasar ke warung padahal lagi summit (serius, ini pernah terjadi!).
Lalu, muncul topik berat yang kadang suka numpang lewat di malam-malam pegunungan:
“Menurut kalian... hidup itu kayak apa sih?”
Diam sejenak. Lalu salah satu dari kami menjawab sambil tiup uap kopi:
“Hidup itu kayak mendaki gunung. Kadang capek, kadang pingin nyerah, tapi kalau bareng orang yang tepat dan sabar jalanin, sampai juga di puncak. Dan pas udah di atas, semua rasa capek itu ternyata layak.”
Kami semua mengangguk. Dingin menusuk, tapi hangatnya percakapan bikin lupa suhu.
Summit Attack – Langkah Menuju Langit
Sekitar pukul 03.00 dini hari, alarm dari HP dengan volume maksimal membangunkan kami. Mata masih berat, kaki kaku, tapi semangat kami sudah duluan sampai puncak. Setelah persiapan singkat dan saling memastikan semua siap, kami mulai melangkah menuju Triangulasi.
Langit masih gelap, tapi titik-titik bintang belum sepenuhnya pergi. Jalur menanjak, tapi langkah kami mantap. Diiringi suara angin dan detak jantung, kami menuju langit.
(...lanjutkan ke bagian "Puncak Merbabu – Sunrise yang Bikin Lupa Dunia" dan seterusnya seperti versi sebelumnya...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar