Perjalanan kami dimulai dari Basecamp Thekelan yang terletak di Kabupaten Boyolali. Kami sampai sekitar pukul 7 pagi, sengaja datang lebih awal supaya bisa mulai mendaki sebelum matahari terlalu terik. Proses registrasinya cepat dan mudah, suasana basecamp pun bersih dan menyenangkan. Beberapa warga sekitar membuka warung kecil—godaan buat jajan gorengan cukup berat, tapi kami menahan diri... dikit.
POS 1 - SIMPANG LITI: Awal yang cukup
Santai, tapi tetap memeras keringat
Trek menuju Pos 1 masih bisa dibilang
bersahabat. Tanah padat dan dikelilingi hutan pinus membuat perjalanan terasa
adem. Suara serangga seperti latar musik alam yang menemani setiap langkah.
Walau tanjakannya belum seberapa, keringat mulai muncul pelan-pelan, semacam
kode bahwa ini baru pemanasan.
Di Simpang Liti, kami menemukan percabangan kecil dengan papan penunjuk arah yang cukup jelas. Kami rehat sebentar, minum, dan tentu saja, bercanda sambil pura-pura kuat.
Pos 2 - PERENG PUTIH: Langkah Berat, Tapi Pemandangan Mulai Bikin Hati Ringan
Memasuki jalur ke Pos 2, tanjakan
mulai terasa serius. Vegetasi berubah, area jadi lebih terbuka dan angin mulai
berhembus lebih kencang. Jalur makin sempit tapi justru pemandangan mulai
menyenangkan mata. Sesekali kabut tipis turun perlahan, memberi efek dramatis
yang bikin suasana seperti di film petualangan.
Pereng Putih jadi salah satu spot foto yang layak diabadikan. Langit terasa luas, dan semangat kami sedikit-sedikit disuntik ulang oleh keindahan alam. Walau begitu, ritme napas mulai memburu dan suara teman mulai lenyap satu per satu. Fokus utama hanya: lanjut atau duduk dan berpura-pura ikhlas.
Dua pohon akasia yang berdiri gagah menandai Pos Akasia Kembar, sekaligus membuka babak baru dalam pendakian. Medan mulai berpasir dan cukup licin. Tanjakan panjang bikin napas harus kerja ekstra, dan ini saatnya kaki diuji seberapa tahan banting.
Kami beristirahat cukup lama di sini. Angin
mulai mencolek kulit dengan dinginnya, tapi setidaknya kami bisa menikmati
pemandangan Gunung Merapi yang mulai terlihat, meski masih malu-malu. Beberapa
dari kami menyeduh kopi sachet sambil mendengarkan cerita absurd teman yang
katanya pernah hiking di luar negeri tapi gak ingat nama gunungnya maklum, mungkin cuma mimpi.
Pos 3 - GUMUK MENTHUL: Nama Imut,
Tanjakan Serius
Gumuk Menthul punya nama yang lucu, tapi jangan tertipu, jalurnya cukup bikin
betis bergetar. Medan yang sempit, rerumputan tinggi, dan tanjakan panjang siap
menguras tenaga. Tapi begitu sampai, padang rumput yang luas dan udara segar
jadi hadiah yang sangat layak.
Matahari mulai miring ke barat. Kami
mengambil waktu untuk ngemil dan recharge. Beberapa rombongan pendaki lain
mulai berdatangan. Suasana jadi lebih hidup, dan info soal tempat camp terbaik
pun mulai bertukar antar tenda.
Pos 4 - LEMPONG SAMPAN: Persinggahan
Sebelum Langit
kan tenda. Tapi kami masih punya target: ngecamp lebih dekat ke puncak, tepatnya di Puncak Pemancar, agar perjalanan summit nanti lebih singkat.
Di sini, langit mulai berubah warna. Gradasi oranye keemasan perlahan melukis langit, dan Merapi berdiri anggun di kejauhan. Kami sempatkan memotret momen ini—ya, pose-pose klasik ala pendaki pun mulai keluar, lengkap dengan tangan menunjuk cakrawala.
CAMP PUNCAK PEMANCAR: Malam di Antara Bintang
Kami tiba di Puncak Pemancar sekitar pukul 3
sore. Tempatnya cukup luas meski angin bertiup kencang. Tenda berdiri, makanan
hangat tersaji, dan langit malam Merbabu langsung mencuri perhatian.
Bintang bersinar terang, begitu banyak
hingga langit terasa penuh. Momen ini bikin semua rasa lelah seolah menguap.
Dalam kantung tidur, sambil menggigil dan menahan ingin ke toilet, kami mulai
membicarakan hal-hal yang lebih dalam—tentang hidup, rencana masa depan, dan
nasi goreng basecamp yang entah kenapa sekarang terdengar sangat menggoda.
Hari Kedua - Puncak Merbabu: Sunrise dan
Siluet Merapi
SUMMIT ATTACK Jam 3 Pagi – Menembus
Gelap Menuju Cahaya
Alarm berbunyi pukul 02:30. Dingin menusuk, kantuk berat, tapi semangat menang. Kami memulai summit attack pukul 03:00 dini hari, ditemani cahaya headlamp dan doa agar tidak tersandung.
Jalur ke puncak cukup menantang. Gelap,
sempit, dan licin. Tapi setiap langkah terasa seperti mendekat ke langit.
Sekitar pukul 05:00 kami tiba di puncak, dan semua rasa lelah langsung sirna.
Gunung Merapi berdiri megah di hadapan kami.
Melihat Gunung Merapi dari puncak Merbabu itu seperti buka jendela ke negeri di atas awan bedanya, yang ini asli, bukan wallpaper HP. Merapi berdiri gagah dengan garis punggung yang tegas, seolah sedang pamer postur terbaiknya ke seluruh penjuru langit. Kadang, ada gumpalan asap kecil keluar dari kawahnya, bikin kita bertanya-tanya, “Itu lagi batuk, atau cuma pemanasan?”
Keindahannya bukan main, sampai pendaki yang tadinya megap-megap di tanjakan mendadak lupa lelah. Bahkan yang biasanya ngeluh tiap lima langkah, tiba-tiba berubah jadi pujangga dadakan, bilang, “Ini bukan sekadar gunung, ini masterpiece dari semesta.” Dan benar saja dari puncak Merbabu, Merapi terlihat seperti lukisan hidup: berani, misterius, dan terlalu memesona untuk diabaikan.
Turun Gunung - Kembali dengan CeritaTurun melalui jalur yang sama, perjalanan
jadi lebih cepat tapi tetap menantang. Lutut mulai goyah, tapi hati penuh.
Sesekali kami berhenti untuk menikmati pemandangan yang kemarin terlewat.
Sampai di basecamp sekitar siang, kami menatap ke belakang—ke arah
Merbabu—dengan rasa puas dan haru.
Gunung Merbabu via jalur Thekelan bukan
cuma soal tanjakan dan puncak. Ia adalah tentang perjuangan, kekompakan,
ketulusan, dan keajaiban alam. Setiap langkah adalah cerita. Setiap napas
adalah pengingat untuk terus bersyukur.
Dan setiap perjalanan seperti ini, selalu
membawa kita pulang,bukan hanya ke rumah, tapi ke versi terbaik dari diri
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar