Minggu, 22 Juni 2025

Menjejaki Ketinggian Merbabu

"Gunung bukan sekadar tempat tinggi. Ia adalah guru, sahabat, dan cermin dari diri kita sendiri." Gunung Merbabu, dengan ketinggian 3.145 mdpl, adalah salah satu gunung paling memesona di Pulau Jawa. Jalur Thekelan menjadi pilihan favorit banyak pendaki karena karakteristiknya yang landai namun panjang, pemandangan yang terbuka, dan panorama Gunung Merapi yang bisa bikin lupa kalau lutut udah nyeri.

Perjalanan kami dimulai dari Basecamp Thekelan yang terletak di Kabupaten Boyolali. Kami sampai sekitar pukul 7 pagi, sengaja datang lebih awal supaya bisa mulai mendaki sebelum matahari terlalu terik. Proses registrasinya cepat dan mudah, suasana basecamp pun bersih dan menyenangkan. Beberapa warga sekitar membuka warung kecil—godaan buat jajan gorengan cukup berat, tapi kami menahan diri... dikit.

POS 1 - SIMPANG LITI: Awal yang cukup Santai, tapi tetap memeras keringat

Trek menuju Pos 1 masih bisa dibilang bersahabat. Tanah padat dan dikelilingi hutan pinus membuat perjalanan terasa adem. Suara serangga seperti latar musik alam yang menemani setiap langkah. Walau tanjakannya belum seberapa, keringat mulai muncul pelan-pelan, semacam kode bahwa ini baru pemanasan.

Di Simpang Liti, kami menemukan percabangan kecil dengan papan penunjuk arah yang cukup jelas. Kami rehat sebentar, minum, dan tentu saja, bercanda sambil pura-pura kuat.

Pos 2 - PERENG PUTIH: Langkah Berat, Tapi Pemandangan Mulai Bikin Hati Ringan

Memasuki jalur ke Pos 2, tanjakan mulai terasa serius. Vegetasi berubah, area jadi lebih terbuka dan angin mulai berhembus lebih kencang. Jalur makin sempit tapi justru pemandangan mulai menyenangkan mata. Sesekali kabut tipis turun perlahan, memberi efek dramatis yang bikin suasana seperti di film petualangan.

Pereng Putih jadi salah satu spot foto yang layak diabadikan. Langit terasa luas, dan semangat kami sedikit-sedikit disuntik ulang oleh keindahan alam. Walau begitu, ritme napas mulai memburu dan suara teman mulai lenyap satu per satu. Fokus utama hanya: lanjut atau duduk dan berpura-pura ikhlas.

 AKASIA KEMBAR: Ujian Ketahanan Dimulai

Dua pohon akasia yang berdiri gagah menandai Pos Akasia Kembar, sekaligus membuka babak baru dalam pendakian. Medan mulai berpasir dan cukup licin. Tanjakan panjang bikin napas harus kerja ekstra, dan ini saatnya kaki diuji seberapa tahan banting.

Kami beristirahat cukup lama di sini. Angin mulai mencolek kulit dengan dinginnya, tapi setidaknya kami bisa menikmati pemandangan Gunung Merapi yang mulai terlihat, meski masih malu-malu. Beberapa dari kami menyeduh kopi sachet sambil mendengarkan cerita absurd teman yang katanya pernah hiking di luar negeri tapi gak ingat nama gunungnya maklum, mungkin cuma mimpi.

Pos 3 - GUMUK MENTHUL: Nama Imut, Tanjakan Serius

Gumuk Menthul punya nama yang lucu, tapi jangan tertipu, jalurnya cukup bikin betis bergetar. Medan yang sempit, rerumputan tinggi, dan tanjakan panjang siap menguras tenaga. Tapi begitu sampai, padang rumput yang luas dan udara segar jadi hadiah yang sangat layak.

Matahari mulai miring ke barat. Kami mengambil waktu untuk ngemil dan recharge. Beberapa rombongan pendaki lain mulai berdatangan. Suasana jadi lebih hidup, dan info soal tempat camp terbaik pun mulai bertukar antar tenda.

 

Pos 4 - LEMPONG SAMPAN: Persinggahan Sebelum Langit

Lempong Sampan adalah spot datar yang luas, cocok banget buat mendiri
kan tenda. Tapi kami masih punya target: ngecamp lebih dekat ke puncak, tepatnya di Puncak Pemancar, agar perjalanan summit nanti lebih singkat.

Di sini, langit mulai berubah warna. Gradasi oranye keemasan perlahan melukis langit, dan Merapi berdiri anggun di kejauhan. Kami sempatkan memotret momen ini—ya, pose-pose klasik ala pendaki pun mulai keluar, lengkap dengan tangan menunjuk cakrawala.


CAMP PUNCAK PEMANCAR: Malam di Antara Bintang

Kami tiba di Puncak Pemancar sekitar pukul 3 sore. Tempatnya cukup luas meski angin bertiup kencang. Tenda berdiri, makanan hangat tersaji, dan langit malam Merbabu langsung mencuri perhatian.

Bintang bersinar terang, begitu banyak hingga langit terasa penuh. Momen ini bikin semua rasa lelah seolah menguap. Dalam kantung tidur, sambil menggigil dan menahan ingin ke toilet, kami mulai membicarakan hal-hal yang lebih dalam—tentang hidup, rencana masa depan, dan nasi goreng basecamp yang entah kenapa sekarang terdengar sangat menggoda.

 

Hari Kedua - Puncak Merbabu: Sunrise dan Siluet Merapi

SUMMIT ATTACK Jam 3 Pagi – Menembus Gelap Menuju Cahaya

Alarm berbunyi pukul 02:30. Dingin menusuk, kantuk berat, tapi semangat menang. Kami memulai summit attack pukul 03:00 dini hari, ditemani cahaya headlamp dan doa agar tidak tersandung.

Jalur ke puncak cukup menantang. Gelap, sempit, dan licin. Tapi setiap langkah terasa seperti mendekat ke langit. Sekitar pukul 05:00 kami tiba di puncak, dan semua rasa lelah langsung sirna.


Gunung Merapi berdiri megah di hadapan kami.

Melihat Gunung Merapi dari puncak Merbabu itu seperti buka jendela ke negeri di atas awan bedanya, yang ini asli, bukan wallpaper HP. Merapi berdiri gagah dengan garis punggung yang tegas, seolah sedang pamer postur terbaiknya ke seluruh penjuru langit. Kadang, ada gumpalan asap kecil keluar dari kawahnya, bikin kita bertanya-tanya, “Itu lagi batuk, atau cuma pemanasan?”

Keindahannya bukan main, sampai pendaki yang tadinya megap-megap di tanjakan mendadak lupa lelah. Bahkan yang biasanya ngeluh tiap lima langkah, tiba-tiba berubah jadi pujangga dadakan, bilang, “Ini bukan sekadar gunung, ini masterpiece dari semesta.” Dan benar saja dari puncak Merbabu, Merapi terlihat seperti lukisan hidup: berani, misterius, dan terlalu memesona untuk diabaikan.

Turun Gunung - Kembali dengan Cerita

Turun melalui jalur yang sama, perjalanan jadi lebih cepat tapi tetap menantang. Lutut mulai goyah, tapi hati penuh. Sesekali kami berhenti untuk menikmati pemandangan yang kemarin terlewat. Sampai di basecamp sekitar siang, kami menatap ke belakang—ke arah Merbabu—dengan rasa puas dan haru.

 Merbabu, Gunung yang Selalu Dirindukan

Gunung Merbabu via jalur Thekelan bukan cuma soal tanjakan dan puncak. Ia adalah tentang perjuangan, kekompakan, ketulusan, dan keajaiban alam. Setiap langkah adalah cerita. Setiap napas adalah pengingat untuk terus bersyukur.

Dan setiap perjalanan seperti ini, selalu membawa kita pulang,bukan hanya ke rumah, tapi ke versi terbaik dari diri sendiri.


Sabtu, 21 Juni 2025

Pendakian Pertama Gunung Prau, Awal Sebuah Perjalanan

  Sejujurnya nggak pernah nyangka bakal naik gunung. Dulu sering mikir, "Ngapain sih capek-capek nanjak cuma buat liat langit?" Tapi semua berubah pas akhirnya gue nekat coba, dan Gunung Prau jadi gerbang pertama gue kenal dunia pendakian. Ternyata... worth it banget.

Start dari Basecamp: Suasana Desa yang Adem Banget

Pagi-pagi banget aku nyampe di basecamp Igirmranak. Desa kecil ini punya suasana yang tenang, kabut masih menggantung rendah, dan udara super adem. Beberapa warung kecil sudah buka, wangi gorengan dan kopi panas langsung nyambut kedatangan kami. Kami sempat ngobrol sebentar sama warga sekitar, mereka ramah banget—seakan tahu kalau kita masih pendaki newbie yang deg-degan.

    Persiapan sebentar, dan jalur langsung disuguhin pemandangan ladang-ladang sayuran warga yang tertata rapi. Banyak spot yang instagramable banget bahkan sebelum masuk pos 1. Tanahnya masih relatif datar, dan suasananya bikin hati tenang.

Pos 1: Lorong Pinus Estetik

    Masuk ke Pos 1, kita kayak langsung diajak masuk ke dalam dunia dongeng. Deretan pohon pinus tinggi berjajar, membentuk semacam lorong alami yang adem banget. Langit masih remang-remang, dan sinar matahari mulai menembus sela-sela daun. Cahaya pagi itu jatuh di jalur setapak dan bikin efek sinematik alami yang bikin semua orang berhenti sejenak buat foto-foto.

    Di pos ini, suara burung dan daun-daun yang tertiup angin jadi backsound alami. Udah nggak ada suara kendaraan atau notifikasi HP. Hanya suara alam dan napas kita sendiri. Rasanya damai banget. Walaupun trek mulai agak menanjak, semangat kami masih tinggi karena semua terasa serba baru dan menyenangkan.

Pos 2: View Sindoro Mulai Muncul!


    Setelah lewat hutan pinus, jalur mulai terbuka sedikit demi sedikit. Langit kelihatan lebih luas, dan dari kejauhan, Gunung Sindoro mulai menunjukkan dirinya. Pemandangannya makin cakep. Kami sering berhenti hanya buat lihat ke belakang dan kagum—“Kita udah sejauh ini ya?”

    Di pos ini, kita juga mulai ngelewatin padang rumput kecil dengan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggir jalur. Anginnya mulai lebih kencang, dan hawanya makin dingin. Tapi semuanya terasa segar. Saking kagumnya, kita sempat duduk agak lama di batu besar sambil makan snack dan menikmati view karena beneran kayak ada di lukisan.

Pos 3: Serasa Jalan di Atas Karpet Hijau


    Ini bagian favoritku. Jalur mulai menanjak lagi tapi lebih terbuka. Langkah kaki semakin pelan karena capek, tapi rasa excited-nya malah makin tinggi. Padang rumput luas terbentang di depan, dengan background langit biru dan awan yang menggantung rendah. Kami benar-benar seperti berjalan di atas karpet hijau yang langsung nyambung ke langit.

    Gunung Sumbing mulai kelihatan jelas. Kami ketemu rombongan pendaki lain yang udah turun, dan mereka bilang sunrise hari itu gila banget cantiknya. Semangat langsung naik lagi. Setiap sudut di pos ini cocok buat duduk, rebahan, atau sekadar nikmatin angin sambil menatap horizon.

Camp Area: Malam Romantis di Bawah Bintang


    Sampai di area camp menjelang sore, dan langit mulai menunjukkan warna-warna magisnya. Kami langsung dirikan tenda di area yang menghadap ke barat. Sunset pelan-pelan muncul di balik Gunung Sumbing. Langit berubah dari oranye ke merah muda lalu ke ungu gelap. Semua orang otomatis hening, menikmati pertunjukan langit tanpa suara.

Malamnya, bintang muncul satu per satu. Udara dingin banget, tapi kami punya sleeping bag dan jaket tebal. Kami rebahan di luar tenda sambil dengerin lagu mellow, minum coklat panas, dan ngebahas kehidupan. Malam itu, bumi dan langit kayak bersatu di satu titik. Magis banget.

Puncak: Sunrise Tercantik Seumur Hidup

Jam 4 pagi, alarm bunyi. Meski dingin, kami bangun dan siap-siap summit. Jalur dari camp ke puncak nggak terlalu jauh, tapi cukup bikin ngos-ngosan. Begitu nyampe atas, angin langsung menyambut. Langit masih gelap, tapi perlahan berubah warna. Dan akhirnya... sunrise-nya muncul.

Cahaya keemasan keluar pelan dari balik cakrawala. Lautan awan membentang luas di bawah kaki kami, dan puncak-puncak gunung lain tampak mengambang di atasnya. Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu semuanya berdiri megah. Semua orang langsung ambil posisi foto, tapi banyak juga yang cuma diem terharu. Aku juga.


Unggulan

Menjejaki Ketinggian Merbabu

"Gunung bukan sekadar tempat tinggi. Ia adalah guru, sahabat, dan cermin dari diri kita sendiri." Gunung Merbabu, dengan ketinggia...

Populer